Senin, 05 April 2010

aik4

Larangan Khianat dan Menyia-Nyiakan Amanah Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali
Wednesday, 28 May 2008

Allah SWT berfirman (artinya), "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfaal: 27).

Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., ia berkata (artinya), "Suatu ketika Rasulullah saw. berkhutbah di hadapan kami, dalam khutbahnya beliau berkata, 'Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki sifat amanah. Dan, tidak ada agama bagi yang tidak menepati perjanjian'." (Shahih, Ahmad [III/135, 154, 210 dan 251], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [38], Ibnu Hibban [194], al-Baihaqi [IV/97, VI/288 dan IX/231], al-Qudha'i dalam Musnad asy-Syihaab [848, 849 dan 850]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. pernah berdo'a, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa lapar, karena lapar merupakan seburuk-buruk pendamping. Dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat khianat (yaitu tidak menunaikan amanat Allah dan manusia), karena khianat merupakan seburuk-buruk perangai'." (Shahih, Abu Dawud [1547], an-Nasa'i [VIII/263], dan Ibnu Majah [3354]).

Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah r.a., ia bercerita, "Ketika Rasulullah saw. sedang berbicara di hadapan para Sahabat, tiba-tiba datanglah seorang Arab badui, lalu bertanya, 'Bilakah terjadi hari Kiamat?' Namun Rasulullah terus melanjutkan pembicaraan. Sebagian orang berkata, 'Rasulullah mendengarnya namun beliau membenci perkataannya itu.' Sebagian orang berkata, 'Beliau tidak mendengarnya.' Setelah selesai berbicara Rasulullah berkata, 'Di mana si penanya tentang hari Kiamat tadi?' 'Aku orangnya, wahai Rasulullah!' sahutnya. Rasulullah berkata, 'Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat.' 'Bagaimanakah amanah disia-siakan?' tanyanya lagi. Rasulullah berkata, 'Jika urusan ini telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat'!" (HR Bukhari [59]).

Kandungan Bab:

  1. Sifat amanah merupakan akhlak yang mulia, cakupannya sangat luas dan bentuknya juga beraneka ragam meliputi seluruh aspek kehidupan. Iman adalah amanah, barangsiapa menyia-nyiakan amanah berarti ia telah menyia-nyiakan iman. Ibadah adalah amanah, hak-hak manusia adalah amanah, muamalah adalah amanah… dan seterusnya.
  2. Melanggar amanah dan menyia-nyiakannya merupakan tanda rusaknya aturan dan norma-norma kehidupan dan merupakan tanda dekatnya hari Kiamat.
  3. Setiap Muslim wajib menunaikan amanah menurut apa yang telah disyari'atkan, meskipun orang lain berbuat khianat dan melakukan tipu daya terhadap dirinya. Sebab, khianat merupakan sifat orang munafik. Oleh sebab itu, dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi serta yang lainnya dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. memerintahkan, "Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanat kepadamu dan janganlah mengkhianati orang yang berbuat khianat terhadap dirimu."

    Hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa orang Sahabat, di antaranya adalah Ubay bin Ka'ab, Anas bin Malik, dan Abu Umamah r.a.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 138-140.

Oleh: Fani

Selasa, 23 Maret 2010

Larangan Khianat dan Menyia-Nyiakan Amanah Cetak halaman ini Kirim halaman ini ke teman via E-mail
Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali
Wednesday, 28 May 2008

Allah SWT berfirman (artinya), "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfaal: 27).

Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., ia berkata (artinya), "Suatu ketika Rasulullah saw. berkhutbah di hadapan kami, dalam khutbahnya beliau berkata, 'Tidak ada iman bagi yang tidak memiliki sifat amanah. Dan, tidak ada agama bagi yang tidak menepati perjanjian'." (Shahih, Ahmad [III/135, 154, 210 dan 251], al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [38], Ibnu Hibban [194], al-Baihaqi [IV/97, VI/288 dan IX/231], al-Qudha'i dalam Musnad asy-Syihaab [848, 849 dan 850]).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata, "Rasulullah saw. pernah berdo'a, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rasa lapar, karena lapar merupakan seburuk-buruk pendamping. Dan aku berlindung kepada-Mu dari sifat khianat (yaitu tidak menunaikan amanat Allah dan manusia), karena khianat merupakan seburuk-buruk perangai'." (Shahih, Abu Dawud [1547], an-Nasa'i [VIII/263], dan Ibnu Majah [3354]).

Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah r.a., ia bercerita, "Ketika Rasulullah saw. sedang berbicara di hadapan para Sahabat, tiba-tiba datanglah seorang Arab badui, lalu bertanya, 'Bilakah terjadi hari Kiamat?' Namun Rasulullah terus melanjutkan pembicaraan. Sebagian orang berkata, 'Rasulullah mendengarnya namun beliau membenci perkataannya itu.' Sebagian orang berkata, 'Beliau tidak mendengarnya.' Setelah selesai berbicara Rasulullah berkata, 'Di mana si penanya tentang hari Kiamat tadi?' 'Aku orangnya, wahai Rasulullah!' sahutnya. Rasulullah berkata, 'Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat.' 'Bagaimanakah amanah disia-siakan?' tanyanya lagi. Rasulullah berkata, 'Jika urusan ini telah diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat'!" (HR Bukhari [59]).

Kandungan Bab:

  1. Sifat amanah merupakan akhlak yang mulia, cakupannya sangat luas dan bentuknya juga beraneka ragam meliputi seluruh aspek kehidupan. Iman adalah amanah, barangsiapa menyia-nyiakan amanah berarti ia telah menyia-nyiakan iman. Ibadah adalah amanah, hak-hak manusia adalah amanah, muamalah adalah amanah… dan seterusnya.
  2. Melanggar amanah dan menyia-nyiakannya merupakan tanda rusaknya aturan dan norma-norma kehidupan dan merupakan tanda dekatnya hari Kiamat.
  3. Setiap Muslim wajib menunaikan amanah menurut apa yang telah disyari'atkan, meskipun orang lain berbuat khianat dan melakukan tipu daya terhadap dirinya. Sebab, khianat merupakan sifat orang munafik. Oleh sebab itu, dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi serta yang lainnya dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw. memerintahkan, "Tunaikanlah amanah kepada orang yang memberi amanat kepadamu dan janganlah mengkhianati orang yang berbuat khianat terhadap dirimu."

    Hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa orang Sahabat, di antaranya adalah Ubay bin Ka'ab, Anas bin Malik, dan Abu Umamah r.a.

Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 138-140.

Oleh: Fani


Antara Jujur, Amanat, Dusta, dan Khianat


Redaksi Al Wala’ Wal Bara’
Kejujuran adalah akhlak yang tinggi, pondasi segala keutamaan, dengannyalah roda kehidupan akan lurus dan berjalan dengan lancar, sungguh kejujuran akan mengangkat derajat pelakunya disisi Alloh subhanahu wa ta’ala dan di tengah-tengah manusia, maka dengan itu Alloh memerintahkan untuk bersama dengan orang-orang jujur. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar" (Q.S. At-Taubah :119).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), "Hendaklah kalian jujur, karena kejujuran akan menghantarkan kepada kebaikan dan kebaikan akan menghantarkan ke surga" (H.R. Bukhori dan Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu), hendaklah kita bersikap jujur dalam ucapan, keyakinan dan amalan.

Jika kejujuran sebagai pondasi segala keutamaan, maka kedustaan adalah pondasi segala kerusakan, bangunan kehidupan akan hancur dan berantakan karenanya, si pelakunya pun terhina di hadapan Alloh subhanahu wa ta’ala dan di mata manusia. Tidak sedikit di dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang mengandung ancaman keras terhadap kedustaan, seperti Firman Alloh subhanahu wa ta’ala (yang artinya), "Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Alloh. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Alloh tiadalah beruntung, (itu adalah) kesenangan yang sedikit dan bagi mereka azab yang pedih" (Q.S. An-Nahl : 116-117). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa kedustaan menghantarkan kepada kedurhakaan, sedangkan kedurhakaan tempatnya di neraka.
Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): "Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar dalam neraka, mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan" (Q.S. Al-Infithaar : 14-15).
Kedusataan juga merupakam landasan kemunafikan. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): "Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata �Kami mengakui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Alloh’. Dan Alloh subhanahu wa ta’ala mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya, dan Alloh mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu pendusta, mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Alloh. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan" (Q.S. Al-Munafiquun : 1 - 2).

Sedangkan amanat adalah amalan yang Alloh percayakan seluruh hamba padanya, ruang lingkup amanat ini sangatlah luas mencakup atas amanat terhadap apa yang dipercayakan orang lain, amanat dalam hal ilmu dan amalan serta mencakup atas amanat terhadap seluruh urusan-urusan agama, adapun khianat adalah kebalikan daripada amanat, ia adalah sejelek-jelek akhlaq, salah satu dari sifat-sifat kemunafikan, oleh karena itu maka Alloh melarangnya dalam Al-Qur’an. Alloh berfirman (yang artinya) "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Alloh dan Rasul (Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui." (Q.S. Al-Anfaal : 27).
Maka, semua apa yang telah disampaikan oleh para nabi dari perkara aqidah, syariat adalah amanat di pundaknya para ulama, jika mereka mengurangi dalam hal penyampaian dan penyebarannya, ini adalah berarti kedustaan dan pengkhianatan dari mereka. Alloh subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Alloh dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati." (Q.S. Al-Baqoroh : 159).
Sudah seyogyanya bagi para pembawa ilmu menyampaikan apa yang datang dari penutup para nabi - Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan benar, karena hal ini adalah merupakan kejujuran yang paling besar dan amanat yang paling besar, sedangkan menutup-nutupinya adalah kecurangan dan pengkhianatan yang besar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): "Sesungguhnya khianatnya seseorang di antara kalian dalam hal ilmunya lebih besar daripada khianatnya dalam hal hartanya." (H.R. Thabrany dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu).
Sumber: Buletin Dakwah Al Wala’ Wal Bara’ Bandung
Edisi ke-23 Tahun ke-1 / 23 Mei 2003 M / 21 Rabi’ul Awwal 1424 H

Senin, 08 Maret 2010

Memenuhi Kewajiban kepada Allah
Penulis : KH Abdullah Gymnastiar

Seringkali kita agak teledor terhadap apa yang diperintahkan Allah. Atau menyibukkan diri dengan menuntut janji Allah tapi malah lalai dengan kewajiban. Padahal, sesungguhnya kita harus sangat menyakini bahwa janji Allah adalah pasti, tidak bisa dipungkiri. Karena itu, justru kita mesti risau bila belum menyempurnakan kewajiban kepada Allah.

Barangsiapa yang pandai bersyukur, niscaya Allah akan menambah nikmatnya. Maka, bersyukur adalah tugas kita berikutnya. Jangan resah dengan nikmat yang ingin didapat. Kita kerapkali lebih sering risau dengan nikmat yang belum ada, dibanding memikirkan bagaimana bersyukur atas nikmat yang sudah ada. Inilah sebetulnya yang menentukan kualitas hati kita. Maka setiap ingat janji Allah, ingatlah kewajiban kita kepada Allah, yang salah satunya adalah bersyukur.

Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, baginyalah jalan keluar. Jangan sampai kita sibuk memikirkan jalan ke luar tapi kita tidak sungguh-sungguh bertaqwa. Yakinlah, Allah Mahatahu masalah kita. Karena itu, fokuskan diri hanya pada taqwa, dan akibatnya, insya Allah jalan ke luar pasti akan diberikan Allah.

Lalu, yang juga mesti dibenahi adalah gerbang tawakal kita. Barangsiapa yang tawakal kepada Allah niscaya akan dicukupkan segalanya. Kita harus berlatih tawakal seperti tawakalnya Nabi Ibrahim AS yang begitu berat hendak meninggalkan anaknya di lembah antara bukit Shafa dan Marwa.

Tidak hanya itu, ia juga diperintahkan menyembelih anaknya, Nabi Ismail. Demikian pula Siti Hajar, karena ketawakalannya, Allah memancarkan sumur zam-zam untuk dirinya dan anaknya. Tawakal adalah bentuk keyakinan akan janji Allah.

Siapa yang bersungguh-sungguh kepada Allah, maka ia akan menuntun dan membuka pintu ke luar yang lain. Jadi bila ada kecemasan, jangan ragu dengan janji Allah, tapi fokuslah pada sabar dan shalat untuk mendapatkan pertolongan Allah. Sebaliknya, jika mengeluh, tidak menerima kenyataan, pasti tidak akan menyelesaikan masalah sama sekali. Apalagi jika Allah tidak menghendaki, akan tutup semua jalan ke luar, na'uzubillah.

Jadi, mau apa pun, keluarga sakinah, hidup tenang, mendapat jalan ke luar masalah, atau yang lainnya, semuanya bisa didapat hanya dengan memfokuskan diri pada memenuhi kewajiban kepada Allah. Pikirkan saja kualitas shalat dan sabar kita, serta amal ibadah lainnya. Semoga Allah memampukan kita untuk mempersembahkan amal terbaik. Aamiin.

Sumber : Buletin Keluarga Sakin

KEWAJIBAN TERHADAP ALLAH DAN TERHADAP SESAMA MANUSIA

(4:36)

Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh [294], dan teman sejawat, ibnu sabil [295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,

(4:37)

(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir [296] siksa yang menghinakan.

(4:38)

Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya [297] kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. Barangsiapa yang mengambil syaitan itu menjadi temannya, maka syaitan itu adalah teman yang seburuk-buruknya.

(4:39)

Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezki yang telah diberikan Allah kepada mereka ? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.

(4:40)

Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar [298].

(4:41)

Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu [299]).

(4:42)

Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah [300], dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadianpun.

Senin, 25 Januari 2010

Ganitri, Pohon Mata Dewa Penyerap Polutan

Di Cipagalo dan Cipadung, Bandung, ada tempat bernama Ciganitri. Ganitri adalah nama pohon, yang bijinya keras dengan permukaannya seperti yang termakan cacing, terukir alur-alur dengan aneka bentuk yang indah. Kini, biji ganitri banyak dimanfaatkan sebagai hiasan bunga kering, dan bagi pemeluk agama Hindu, biji ganitri digunakan sebagai sarana peribadatan.

Konon, pada suatu saat, air mata Siwa menitik, lalu tumbuh menjadi pohon rudraksa dan menyebar di Negeri Bharatawarsa dan sekitarnya, kemudian menyebar sampai ke bumi nusantara, nama populernya ganitri atau genitri.

Rudraksa, berasal dari kata rudra (Siwa) dan aksa (mata). Rudraksa itu buah kesayangan Siwa sehingga dianggap tinggi kesuciannya. Biji mata Siwa ini oleh penganutnya dipercaya dapat membersihkan dosa dengan melihatnya, bersentuhan, maupun dengan memakainya sebagai sarana japa. Oleh karena itu, biji-biji itu diuntai, dipergunakan untuk japa mala. Japa artinya mengulang-ulang kata suci, sedangkan mala adalah kata lain untuk tasbih atau rosario, rangkaian biji-bijian, permata, mutiara, mute, merjan, butiran keramik, atau cendana.

Selain pengaruh religius, bagi pemakainya, rudraksa dipercaya dapat memberikan efek biomedis dan bioelektromagnetis sehingga memberikan efek kesehatan, kesegaran, dan kebugaran.

Di Indonesia, pohon rudraksa disebut ganitri (Elaeocarpus ganitrus). Ada tiga jenis ganitri dan empat jenis agak berlainan yang dinamai katulampa (Elaeocarpus glabra BL.). Tinggi pohon ganitri mencapai 30 meter dengan besar batang 30-40 cm. Buahnya bulat, tergantung di ujung tangkai ranting, dengan warna biru agak ungu yang cerah dan sangat indah. Burung besar menyukai buah ini sehingga bijinya yang keluar dari kotoran burung itu warnanya cokelat yang indah.

Dalam catatan Heyne (1927), daging buahnya yang tipis itu rasanya seperti minuman anggur, oleh anak-anak gembala dimakan menjadi penyegar di saat terik matahari. Namun belum ada yang penasaran menyelidikinya untuk dibuat sirup atau selai, misalnya, sehingga pemanfaatannya bukan saja bijinya namun juga daging buahnya.

**

Ganitri dipercaya dapat menyerap polutan sehingga di beberapa jalan di Bandung ditanam ganitri sebagai pohon pelindung jalan. Pohon ini paling banyak ditanam di Jawa Tengah, Sumatra, Kalimantan, Bali, dan Timor, dengan tujuan utama diambil bijinya.

Indonesia adalah pemasok 70% kebutuhan biji ganitri dunia. Nilai transaksinya mencapai ratusan miliar rupiah. Menurut beberapa sumber, pengekspor membutuhkan 350 ton biji kering ganitri sekali kirim. Kelangkaan dan tingginya kebutuhan akan biji ganitri dunia dan banyaknya lahan kritis di lereng terjal, adalah paduan yang mungkin.

Biji ganitri yang keras dan awet itu turut menentukan harga jualnya. Ukurannya dikelompokkan menjadi 10 nomor. Nomor 1 ukuran diameternya 5 mm adalah yang terkecil, namun harganya termahal. Harga per butirnya turun sebanding dengan setiap kenaikan 0,5 mm. Nomor 1-9 dihargai per butir, sedangkan nomor 10 dihargai per kg.

Dalam penyebutan ukuran biji ganitri di Jawa pada zaman kolonial Belanda menggunakan nama anggota badan, seperti: 1. endas (kepala), 2. gulu (leher), 3. asta (lengan), 4. dada (dada), 5. weteng (perut), 6. bokong (pantat), 7. pupu (paha), 8. dengkul (lutut), 9. kental (betis), dan 10. kikil (kaki). Ukuran sesuai posisi anggota badan itu menunjukkan ukuran butiran sekaligus harganya. Semakin atas ukurannya semakin kecil, tentu harganya semakin mahal.

Oleh karena buah ganitri yang kecil mempunyai harga tinggi, para pemiliknya, seperti ditulis Heyne (1927), meniru bagaimana orang Cina yang menyewa pohon ganitri dari masyarakat, mempertahankan agar buahnya itu tidak terus membesar. Segera setelah buahnya jadi, kulit ranting-rantingnya dikerat dengan pisau tajam, tapi tidak sampai putus sehingga dapat mengurangi pengaliran zat makanan. Kerugiannya, pada saat panen, ranting-ranting itu dipatahkan, dan memerlukan waktu untuk pulih kembali.

Selain ukurannya, semakin bulat biji dan banyak mukhis-nya, jumlah lekukan, harganya semakin tinggi. Biji ganitri memiliki mukhis yang berbeda, bervariasi dari 1 hingga 21 mukhis yang masing-masing memiliki arti. Warna yang disukai adalah warna cokelat kemerahan yang cerah dengan alur-alur kekuningan. Warna cokelat tua, apalagi bentuknya tidak bulat benar, tidak disukai. Untuk mendapatkan warna yang bagus, biji ganitri terlebih dahulu direndam dalam air laut.

Bila lereng-lereng terjal ada yang dihijaukan dengan pohon ganitri, fungsi lingkungan terjaga baik karena tidak ditebang pohonnya. Fungsi ekonomi masyarakat pun terpenuhi karena dapat menikmati hasil yang luar biasa besarnya dengan memanen bijinya pada bulan September-Februari, bukan menebang pohonnya seperti bila dihijaukan dengan pohon pinus.

Tentu saja, hutan produksi yang multifungsi itu bukan hanya ditanam ganitri, namun bisa juga dengan pohon kosambi atau pohon yang pucuk dan bunganya menghasilkan atsiri. Di sempadan sungai pun sebenarnya dapat ditanam pohon mata dewa ini.

Di Bandung saat ini, pohon ganitri lebih dikenal sebagai pohon pelindung. Pada tahun 1909 diketahui bahwa di Cicalengka, Tasikmalaya, dan Banjar, pohon ganitri dibudidayakan dalam talun ganitri. Namun sayang kini sudah tak dikenal lagi adanya talun ganitri, padahal kebutuhan biji ganitri dunia terus meningkat. Bila tidak diekspor dalam bentuk biji kering, ganitri diolah menjadi kerajinan bunga kering dan untaian mala untuk peribadatan.

Warga Cilacap dan warga Desa Gadungrejo, Kebumen, Jateng ada yang membuat talun ganitri. Di sana ada warga yang hanya memiliki lahan seluas 200 m2, lalu ditanami 8 pohon ganitri. Panen perdana dari tiga pohon yang baru belajar berbuah menghasilkan 17.000-an biji senilai Rp 2,1 juta.***

T. Bachtiar, Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Penulis:

Sabtu, 14 November 2009

makalah AIK 2

BAB I

PENDAHULUAN

Iman kepada qadha dan qadar merupakan rukun iman yang ke-enam atau rukun yang terakhir.Dalam pembicaraan sehari-hari qadha danqadar sering disebut dengan takdir.Rukun iman ini merupakan rukun iman yang paling sulit untuk dipahami, kalau orang tidak berhati-hati, tidak didasari iman dan ilmu yang benar dapat mengakibatkan orang tersebut tergelincir kedalam akidah dan cara hidup yang fatal.Oleh karena itu, untuk memahaminya kita perlu mengadakan studi Al Qur’an dan Assunah.

BAB II

PEMBAHASAN

IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR.

2.1. Rukun Iman yang Ke-enam.

Tiang iman atau rukun iman itu terdiri dari enam hal,yaitu:Iman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul, Hari kiyamat, dan yang terakhir yaitu iman kepada qadha dan qadar (takdir).ini berdasar pada hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.” (HR. Muslim)

Rukun iman ini kalau orang tak hati-hati, tidak didasari dengan iman dan ilmu yang benar dapat mengakibatkan sseorang tergelincir ke dalam akidah dan cara hidup yang fatal.oleh sebab itu untuk memahami qadha dan qadar, kita harus studi Al Quran dan Assunah.

2.2. Definisi Qadha dan Qadar

Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian, diantaranya sebagaimana berikut:

1. Pemutusan.

Kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah:

“(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jadilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah (2): 117]

2. Perintah,

Kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17): 23]

3. Pemberitaan,

Bisa kita temukan dalam ayat:

!$oYøŸÒs%ur Ïmøs9Î) y7Ï9ºsŒ tøBF{$# žcr& tÎ/#yŠ ÏäIwàs¯»yd ×íqäÜø)tB tûüÅsÎ6óÁB ÇÏÏÈ

“Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]

4.Hukum,

Sebab itu hakim dalam islam bernama qadhi. Arti ini dipakai dalam ayat:


“Demi Tuhanmu (Muhammad) bahwa mereka tidak dianggap beriman sehingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudianmereka tidak merasadalam dirinya sesuatu keberatan terhadap suatu hukum (qadha) yang engkau berikan.Dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”[QS. An-Nisa (4): 65]

5.Menghendaki,

“Apabila Allah menghendaki sesuatu urusan, maka Dia cukup mengatakan:’Jadilah’!lalu jadilah ia.”[QS Ali Imran (3) : 47]

Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini. “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10]

Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha) dan dikehendaki oleh hikmah-Nya.

Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11/477)

Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.

Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).

2.3. Dalil-dalil Qadha dan Qadar

Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha dan qadar-Nya berikut ini.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]


“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [QS. Al-Qamar (54): 49]

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” [QS. Al-Lail (92): 5-10]

2.4. Rukun-rukun Iman Kepada Qadha Dan Qadar

Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga tersebut.

Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.

Pertama,Ilmu Allah SWT . Mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara global maupun terperinci, azali dan abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya.Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah berikut ini.

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [QS. Ath-Thalaaq (65): 12]

Kedua, Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah swt. menulis dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh.

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hajj (22): 70]

Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman,

Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” [QS. Faathir (35): 44]

Keempat, Penciptaan-Nya. Ketika beriman terhadap qadha dan qadar, seorang mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” [QS. Az-Zumar (39): 62]

2.5. Macam-macam Takdir

Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah swt. memerintahkan Al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hadiid (57): 22]

Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum.

Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [QS. Ad-Dukhaan (44): 4-5]

Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” [QS. Ar-Rahmaan (55): 29]

Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.

2.6. Keadilan Allah dan Ikhtiar Manusia.

Semua yang ditakdirkan oleh Allah swt. selalu tersirat hikmah dan maslahat bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka, Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah swt., melainkan dinisbatkan kepada amal perbuatan manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah swt :“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” [QS. An-Nisaa` (4): 79]

Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya.

Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, Dia mencintai dan meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia juga menunjukkan dua jalan untuk hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal untuk memilih (ikhtiar) salah satu jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka, barangsiapa yang memilih jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan yang memilih jalan keburukan atau kebatilan maka ia berhak mendapat siksa oleh karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas pilihannya sendiri tanpa ada unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan factor-faktor pendorong amal perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah swt.

Maka, tidak ada alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran dan kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah swt. Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at Allah atas kekufuran mereka seperti dalam firmanNya;“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” [QS. Al-An’aam (6): 148-149]

Telah menjadi sunatullah bahwa suatu kejadian, mengandung kausalitas dan hikmah.Ada sebab dan ada akibat.Oleh karena itu maka Wajib ada factor usaha atau ikhtiar dan tanggung jawab dari manusia. Ikhtiar serta diiringi doa adalah kewajiban manusia, tapi kepastian akhir adalah ditangan Allah swt. Firman Allah:

”Maka barang siapa yang menghendaki iman, maka berimanlah dia. Dan baragn siapa yang menghendaki kafir, maka kafirlah dia.”[QS. Al Kahfi (18): 29]

2.7. Hikmah Beriman Kapada Takdir

Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah swt. secara benar akan melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.

Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar” menyimpulkan hikmah beriman terhadap qadar sebagai berikut.

Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.

Kedua, tetap istiqamah. “Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” [QS. Al-Ma’arij (70): 19-22]

Ketiga, selalu berhati-hati. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” [QS. Al-A’raaf (7): 99]

Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan.

Qadha dan qadar (takdir) merupakan rukun iman yang ke-enam, secara bahasa qada dapat berarti: Pemutusan, Perintah, Pemberitaan, Hukum,Menghendaki.Sedangkan qadar berarti penentuan. Dan menurut istilah qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha) dan dikehendaki oleh hikmah-Nya.

Setiap orang mukmin wajib mempercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi di ala m ini adalah menurut hukum (sunatullah),berdasarkan suatu undang-undang universal atau kepastian hukumatau takdir.dan salah satu dari sunatullah itu adalah otonomi manusia, inilah yang mewajibkan manusia berikhtiar.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’an dan Terjemahnya.

Nazarudin Razak, Drs, Dienul Islam, 1973, AlMa’arif: Bandung.

http://www.dakwatuna.com/search/DEFINISI+IMAN/page/8/.http://www.dakwatuna.com/search/DEFINISI+IMAN/page/8/