Senin, 25 Januari 2010

Ganitri, Pohon Mata Dewa Penyerap Polutan

Di Cipagalo dan Cipadung, Bandung, ada tempat bernama Ciganitri. Ganitri adalah nama pohon, yang bijinya keras dengan permukaannya seperti yang termakan cacing, terukir alur-alur dengan aneka bentuk yang indah. Kini, biji ganitri banyak dimanfaatkan sebagai hiasan bunga kering, dan bagi pemeluk agama Hindu, biji ganitri digunakan sebagai sarana peribadatan.

Konon, pada suatu saat, air mata Siwa menitik, lalu tumbuh menjadi pohon rudraksa dan menyebar di Negeri Bharatawarsa dan sekitarnya, kemudian menyebar sampai ke bumi nusantara, nama populernya ganitri atau genitri.

Rudraksa, berasal dari kata rudra (Siwa) dan aksa (mata). Rudraksa itu buah kesayangan Siwa sehingga dianggap tinggi kesuciannya. Biji mata Siwa ini oleh penganutnya dipercaya dapat membersihkan dosa dengan melihatnya, bersentuhan, maupun dengan memakainya sebagai sarana japa. Oleh karena itu, biji-biji itu diuntai, dipergunakan untuk japa mala. Japa artinya mengulang-ulang kata suci, sedangkan mala adalah kata lain untuk tasbih atau rosario, rangkaian biji-bijian, permata, mutiara, mute, merjan, butiran keramik, atau cendana.

Selain pengaruh religius, bagi pemakainya, rudraksa dipercaya dapat memberikan efek biomedis dan bioelektromagnetis sehingga memberikan efek kesehatan, kesegaran, dan kebugaran.

Di Indonesia, pohon rudraksa disebut ganitri (Elaeocarpus ganitrus). Ada tiga jenis ganitri dan empat jenis agak berlainan yang dinamai katulampa (Elaeocarpus glabra BL.). Tinggi pohon ganitri mencapai 30 meter dengan besar batang 30-40 cm. Buahnya bulat, tergantung di ujung tangkai ranting, dengan warna biru agak ungu yang cerah dan sangat indah. Burung besar menyukai buah ini sehingga bijinya yang keluar dari kotoran burung itu warnanya cokelat yang indah.

Dalam catatan Heyne (1927), daging buahnya yang tipis itu rasanya seperti minuman anggur, oleh anak-anak gembala dimakan menjadi penyegar di saat terik matahari. Namun belum ada yang penasaran menyelidikinya untuk dibuat sirup atau selai, misalnya, sehingga pemanfaatannya bukan saja bijinya namun juga daging buahnya.

**

Ganitri dipercaya dapat menyerap polutan sehingga di beberapa jalan di Bandung ditanam ganitri sebagai pohon pelindung jalan. Pohon ini paling banyak ditanam di Jawa Tengah, Sumatra, Kalimantan, Bali, dan Timor, dengan tujuan utama diambil bijinya.

Indonesia adalah pemasok 70% kebutuhan biji ganitri dunia. Nilai transaksinya mencapai ratusan miliar rupiah. Menurut beberapa sumber, pengekspor membutuhkan 350 ton biji kering ganitri sekali kirim. Kelangkaan dan tingginya kebutuhan akan biji ganitri dunia dan banyaknya lahan kritis di lereng terjal, adalah paduan yang mungkin.

Biji ganitri yang keras dan awet itu turut menentukan harga jualnya. Ukurannya dikelompokkan menjadi 10 nomor. Nomor 1 ukuran diameternya 5 mm adalah yang terkecil, namun harganya termahal. Harga per butirnya turun sebanding dengan setiap kenaikan 0,5 mm. Nomor 1-9 dihargai per butir, sedangkan nomor 10 dihargai per kg.

Dalam penyebutan ukuran biji ganitri di Jawa pada zaman kolonial Belanda menggunakan nama anggota badan, seperti: 1. endas (kepala), 2. gulu (leher), 3. asta (lengan), 4. dada (dada), 5. weteng (perut), 6. bokong (pantat), 7. pupu (paha), 8. dengkul (lutut), 9. kental (betis), dan 10. kikil (kaki). Ukuran sesuai posisi anggota badan itu menunjukkan ukuran butiran sekaligus harganya. Semakin atas ukurannya semakin kecil, tentu harganya semakin mahal.

Oleh karena buah ganitri yang kecil mempunyai harga tinggi, para pemiliknya, seperti ditulis Heyne (1927), meniru bagaimana orang Cina yang menyewa pohon ganitri dari masyarakat, mempertahankan agar buahnya itu tidak terus membesar. Segera setelah buahnya jadi, kulit ranting-rantingnya dikerat dengan pisau tajam, tapi tidak sampai putus sehingga dapat mengurangi pengaliran zat makanan. Kerugiannya, pada saat panen, ranting-ranting itu dipatahkan, dan memerlukan waktu untuk pulih kembali.

Selain ukurannya, semakin bulat biji dan banyak mukhis-nya, jumlah lekukan, harganya semakin tinggi. Biji ganitri memiliki mukhis yang berbeda, bervariasi dari 1 hingga 21 mukhis yang masing-masing memiliki arti. Warna yang disukai adalah warna cokelat kemerahan yang cerah dengan alur-alur kekuningan. Warna cokelat tua, apalagi bentuknya tidak bulat benar, tidak disukai. Untuk mendapatkan warna yang bagus, biji ganitri terlebih dahulu direndam dalam air laut.

Bila lereng-lereng terjal ada yang dihijaukan dengan pohon ganitri, fungsi lingkungan terjaga baik karena tidak ditebang pohonnya. Fungsi ekonomi masyarakat pun terpenuhi karena dapat menikmati hasil yang luar biasa besarnya dengan memanen bijinya pada bulan September-Februari, bukan menebang pohonnya seperti bila dihijaukan dengan pohon pinus.

Tentu saja, hutan produksi yang multifungsi itu bukan hanya ditanam ganitri, namun bisa juga dengan pohon kosambi atau pohon yang pucuk dan bunganya menghasilkan atsiri. Di sempadan sungai pun sebenarnya dapat ditanam pohon mata dewa ini.

Di Bandung saat ini, pohon ganitri lebih dikenal sebagai pohon pelindung. Pada tahun 1909 diketahui bahwa di Cicalengka, Tasikmalaya, dan Banjar, pohon ganitri dibudidayakan dalam talun ganitri. Namun sayang kini sudah tak dikenal lagi adanya talun ganitri, padahal kebutuhan biji ganitri dunia terus meningkat. Bila tidak diekspor dalam bentuk biji kering, ganitri diolah menjadi kerajinan bunga kering dan untaian mala untuk peribadatan.

Warga Cilacap dan warga Desa Gadungrejo, Kebumen, Jateng ada yang membuat talun ganitri. Di sana ada warga yang hanya memiliki lahan seluas 200 m2, lalu ditanami 8 pohon ganitri. Panen perdana dari tiga pohon yang baru belajar berbuah menghasilkan 17.000-an biji senilai Rp 2,1 juta.***

T. Bachtiar, Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Penulis: